Ekosistem pulau-pulau kecil merupakan kumpulan berbagai ekosistem pesisir dan laut sebagai wujud persembahan alam semesta yang memiliki fungsi fisik, fungsi biologi/ekologi, fungsi kimia dan fungsi sosial ekonomi terhadap segala bentuk isi yang terdapat didalamnya, saling menopang dan saling mengikat antara satu komponen dengan komponen lainnya termasuk manusia yang menjadi bagian dari isi-Nya (Alam).
Tidak sepatutnya jika kajian hanya sebatas menjaga hubungan antara sesama manusia (antroposentris) tetapi, perlu kajian bersifat hubungan antara manusia dengan alam ciptaan-Nya (biosentris dan ekosentris). Fungsi ekologi dari ekosistem pulau-pulau kecil sebagai tempat berasosiasi biofisik dan jenis vegetasi pantai yang merupakan satu ekosistem pantai. Keberadaan ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, ekosistem mangrove yang memiliki fungsi biologi/ekologi berpengaruh terhadap keberlangsungan biota laut lainnya merupakan satu kesatuan dari ekosistem laut juga memiliki fungsi fisik sebagai filtrasi dan peredam gelombang (break water) serta pencegah abrasi. Kesemuanya memiliki peranan tersendiri dalam mengelolah limbah secara alami, pelindung gelombang tinggi (tsunami) terhadap keberlangsungan aktivitas manusia yang menggunakan pesisir dan laut sebagai media sosial ekonomi dan budaya adalah tendensi dalam keberlanjutan hidup manusia dan alam itu sendiri.
Pulau Barranglompo secara administratif masuk dalam wilayah Kota Makassar, merupakan pulau berpenduduk padat dekat dengan dataran besar (mindland) berjarak 13 km, memberikan kemudahan akses pelayaran terbuka setiap harinya, pertukaran penduduk berlangsung lancar seiring dengan distribusi barang konsumsi masyarakat yang terkontaminasi perilakunya dengan gaya hidup kota (mindland) seakan-akan telah menjadi kebutuhan primer masyarakat lokal Pulau Barranglompo. Populasi penduduk di Pulau Barranglompo yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (± 4.000 jiwa) dengan luasan pulau 20,38 ha memberikan pengaruh positif terhadap kepadatan bangunan rumah dan tingkat konsumsi tiap rumah tangganya, impact-nya adalah kontribusi sampah domestik organik dan non organik juga meningkat ditambah dengan sampah kiriman dari luar Pulau Barranglompo.
Konsumsi masyarakat yang meningkat mempengaruhi peningkatan sampah domestik baik organik maupun non organik, perilaku masyarakat dan struktur budaya lokal yang menghargai keberadaan lingkungan laut sebagai sumber kehidupannya dapat berubah secara cultural akibat perilaku ekonomi yang konsumtif, masyarakat sebagai media relasi ekologis, tidak lagi sadar dan tidak memiliki tanggungjawab moral terhadap laut yang membentuk kebiasaan-kebiasan terdahulu atau perilaku dengan sebutan budaya bahari. Kini hubungan relasi terbangun antara manusia dan lingkungan alam pesisir laut sebatas relasi ekonomi untuk memenuhi kepuasan masyarakat secara individual. Tidak lagi berpikiran ekologis namun berpikir ekonomis sehingga membentuk pola pikir mereka menjadi pola pikir alam liar yang kompetitif satu sama lainnya layaknya hukum alam “yang kuat bertahan yang lemah berantakan”.
Perilaku ekonomi telah terbangun dalam pemikiran masyarakat serta ketentuan atas hukum alam memberikan degradasi terhadap perilaku/karakteristik masyarakat lokal, perilakunya berpengaruh terhadap alam laut, masyarakat lokal yang berprofesi sebagai nelayan sikap dasarnya dibentuk oleh “rasa syukur atas apa yang diperoleh hari ini dan percaya bahwa kebutuhan hari esok adalah urusan Tuhan “ sikap ini menjadi pegangan dasar masyarakat bahari sebagai manusia ekologis yang memanfaatkan isi alam baik pada datarannya maupun di laut sesuai dengan kebutuhan vitalnya, tidak memikirkan kepentingan diri sendiri namun memikirkan kepentingan orang banyak sebagai harta warisan generasi mendatang sehingga tidak layak jika mereka memandang alam hanya sebatas object, sebatas benda mati yang siap diatur dan dieksploitasi secara terpisah ibarat mesin yang terbangun dari komponen-komponen terpisah dan diatur atau dikontrol oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup individual sebagaimana anggapan Descartes dan pendahulunya sebagai awalnya memasuki zaman mekanistik.
Ketidaktersediaan TPA sebagai media akhir dari pembuangan sampah domestik membentuk ide pemikiran oleh Pemerintah Kota Makassar bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup untuk mengembangkan dan mengelola sampah “Bank Sampah” sebagai upaya pelestarian lingkungan alam laut dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui tabungan sampah, kesehatan dan lain sebagainya ternyata bukan solusi tepat untuk diterapkan, sebab biaya operasional pengelolaan sampah yang cukup tinggi dan kurangnya peran aktif masyarakat menghentikan proses pengembangan dan pengelolaan bank sampah tersebut, akibatnya masyarakat lebih memilih laut sebagai media akhir pembuangan sampah. Masalah sampah, masyarakat dan lingkungan pesisir dan laut pulau Barranglompo merupakan tanggungjawab bersama dan sadar untuk melakukan segala bentuk aktifitas dalam keberlanjutannya.
Harapan kedepan dari kegiatan ini adalah aktifitas yang dilakukan di pulau Barranglompo serta pulau-pulau lainnya tidak hanya terbatas pada aspek biologi dan ekonomi secara spesifik, tetapi perlu juga keterlibatan bidang-bidang ilmu lainnya, mengkaji lebih mendalam mengenai aspek sosial dan budaya masyarakat lokal sehingga bersifat multidisiplin/terpadu dan keberlanjutan sehingga output yang dihasilkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat secara individual dalam mengelolah lingkungan alam pesisir dan laut Pulau Barranglompo serta pulau-pulau kecil lainnya layaknya makhluk ekologis yang saling berketergantungan (simbiosis mutualisme) dengan cara pandang universal.
K.124 11 473
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Artificial Reef Demi Eksistensi Pulau Barranglompo"
Posting Komentar